Jual beli kredit secara umum dipahami
sebagai transaksi dimana barang diterima pada waktu transaksi dengan
pembayaran tidak tunai atau bertempo dengan harga yang lebih mahal
daripada harga tunai. Dalam hal ini pembeli berkewajiban melunasi
harganya dengan cara angsuran dalam jangka waktu tertentu.
Ada
cukup banyak varian dalam jual beli tidak tunai/kredit. Terkadang dalam
skema bay' murabahah, bay' biddayn wa taqsith ataupun beberapa pilihan
skema yang lain. Masing-masing skema jual beli kredit memiliki tata
aturan yang berbeda satu dengan yang lain. Pada intinya, jual beli
kredit adalah jual beli barang dengan harga ditangguhkan atau bisa
disebut juga sebagai jual beli dengan cara berhutang.
Ada
sebagian kaum muslim yang memahami bahwa harga jual beli kredit
haruslah sama harganya dengan harga jual beli tunai. Mereka berpendapat
jika harganya tidak sama, maka itu terjatuh pada riba. Lantas bagaimana
sebenarnya hukum jual beli kredit yang harga angsurannya berbeda dengan
harga tunai ?
Mengenai kebolehan jual beli dengan harga
tidak tunai tanpa ada tambahan harga akibat tempo waktu yang diberikan,
telah jelas kebolehannya sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan
dari Aisyah ra sebagai berikut :
ﺍﺷﺘﺮﻯ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻳﻬﻮﺩﻱٍّ ﻃﻌﺎﻣﺎً ﻧﺴﻴﺌﺔً ﻭﺭﻫﻨﻪ ﺩﺭﻋَﻪ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
"Nabi
SAW membeli makanan dari orang Yahudi hingga tenggat waktu tertentu,
dan beliau menggadaikan baju besinya kepada orang tersebut." (HR Bukhari
dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﺪَﺍﻳَﻨْﺘُﻢْ ﺑِﺪَﻳْﻦٍ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞٍ ﻣُﺴَﻤّﻰً ﻓَﺎﻛْﺘُﺒُﻮﻩُ .
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al
Baqarah 282)
Adapun jika terjadi perbedaan harga antara
harga tunai dengan total akumulasi harga angsuran, maka ada 2 pendapat
terkait dengan hal ini. Pendapat yang menurut kami terkuat adalah
pendapat yang menyatakan kebolehan perbedaan harga antara harga cash dan
harga angsuran.
Dalil kebolehan adanya tambahan harga
kredit dengan harga tunai, adalah riwayat ad-Daruquthni dari Abdullah
bin 'Amru bin 'Ash sebagai berikut :
ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺠﻬﺰ ﺟﻴﺸﺎ ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻇﻬﺮ
ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺎﻉ ﻇﻬﺮﺍ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﻓﺎﺑﺘﺎﻉ
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ ﺑﺎﻟﺒﻌﻴﺮﻳﻦ ﻭﺑﺎﻷﺑﻌﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﺑﺄﻣﺮ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺣﺴﻨﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
“Rasulullah
SAW memerintahkan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash untuk mempersiapkan
suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki unta tunggangan, maka Nabi
SAW memerintahkanku untuk membeli hewan tunggangan dengan pembayaran
ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka 'Abdullah bin 'Amru
bin ‘Ash pun seperintah Rasulullah SAW membeli satu ekor unta dengan
harga dua ekor unta dan beberapa ekor unta yang akan dibayarkan ketika
telah tiba saatnya penarikan zakat."
(HR Ad Daruquthni, Ahmad, Abu
Dawud, dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani).
Syu'aib
al Arnauth menilai hadits ini hasan dengan seluruh sanadnya (lihat
Masyru' al Qonun al Buyu' karya Syaikh Ziyad Ghazal yang terjemahannya
diterbitkan oleh Penerbit Al Azhar Press dengan judul Buku Pintar Bisnis
Syar'ie)
Syaikh Ziyad Ghazal juga menjelaskan, Wajh
ad-dalalah (muatan makna) dalam hadits tersebut adalah bahwa Nabi SAW
telah menambah harga barang tersebut karena faktor tenggat waktu. Ini
tampak pada keberadaan hadits tersebut yang menyatakan tentang jual
beli. Ucapan 'Abdullah bin 'Amru, "Nabi SAW pun memerintahkannya untuk
membeli hewan tunggangan sampai (tenggat waktu) keluarnya orang yang
membayar zakat.
Maka 'Abdullah membeli satu ekor unta
(kontan) dengan kompensasi dua ekor unta (kredit saat unta zakat
datang). Tampak dalam jual beli tersebut adanya tambahan harga karena
faktor tenggat waktu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kebolehan
menambah harga karena faktor tenggat waktu pembayaran.
PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN
Mayoritas
ulama fiqh menyatakan bolehnya menjual barang dengan harga lebih tinggi
daripada biasanya dengan alasan kredit atau dengan alasan penundaan
pembayaran.
Diriwayatkan dari Thawus, Hakam dan Hammad,
mereka mengatakan hukumnya boleh seseorang mengatakan, "Saya menjual
kepada kamu segini dengan kontan, dan segini dengan kredit", lalu
pembeli memilih salah satu diantaranya.
Ali bin Abi
Thalib ra. berkata, "Barangsiapa memberikan tawaran dua sistem
pembayaran, yakni kontan dan tertunda, maka tentukanlah salah satunya
sebelum transaksi."
Ibnu Abbas ra. berkata :
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ : ﻻ ﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﻟﺴﻠﻌﺔ ﺑﻨﻘﺪ ﺑﻜﺬﺍ ﻭﺑﻨﺴﻴﺌﺔ ﺑﻜﺬﺍ، ﻭﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻔﺘﺮﻗﺎﻥ ﺇﻻ ﻋﻦ ﺭﺿﺎ
"Seseorang
boleh menjual barangnya dengan mengatakan, barang ini harga tunainya
sekian dan tidak tunainya sekian, akan tetapi tidak boleh Penjual dan
Pembeli berpisah melainkan mereka telah saling ridha atas salah satu
harga." (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata :
Diperbolehkan bagi penjual untuk menjual barangnya dengan dua pembayaran yang berbeda, yaitu kontan atau kredit. Jika seseorang berkata pada temannya, "Saya menjual barang ini 50 secara kontan, 60 secara kredit."
Lalu temannya itu berkata, "Saya beli secara kredit 60." Atau dia berkata, "Saya beli dengan kontan 50.", maka sahlah jual beli itu. Begitu pula jika dia berkata, "Saya jual barang ini 60 secara kredit, selisih 10 dari harga aslinya jika secara kontan, karena pembayarannya di belakang", dan pembeli mengatakan setuju, maka sahlah jual beli itu. (Syakhsiyah Islamiyah juz II)
Diperbolehkan bagi penjual untuk menjual barangnya dengan dua pembayaran yang berbeda, yaitu kontan atau kredit. Jika seseorang berkata pada temannya, "Saya menjual barang ini 50 secara kontan, 60 secara kredit."
Lalu temannya itu berkata, "Saya beli secara kredit 60." Atau dia berkata, "Saya beli dengan kontan 50.", maka sahlah jual beli itu. Begitu pula jika dia berkata, "Saya jual barang ini 60 secara kredit, selisih 10 dari harga aslinya jika secara kontan, karena pembayarannya di belakang", dan pembeli mengatakan setuju, maka sahlah jual beli itu. (Syakhsiyah Islamiyah juz II)
Syaikh Abdul Azis bin Baz berkata :
"Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz)
"Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz)
Adapun pendapat yang mengharamkan tambahan harga atas transaksi kredit berpedoman pada hadits Nabi SAW berikut :
ﻣﻦ ﺑَﺎﻉَ ﺑَﻴْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻓﻲ ﺑَﻴْﻌَﺔٍ ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﻭْﻛَﺴُﻬُﻤَﺎ ﺃﻭ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ
"Siapa
saja yang menjual dua jual beli dalam satu penjualan, maka baginya
harga yang paling sedikit atau (kalau tidak, ia terkena) riba." (HR
Tirmidzi, Abu Daud dan lain-lain)
Mereka yang
mengharamkan tambahan harga dari transaksi kredit menjelaskan hadits ini
dengan tafsir, "Siapa saja yang menawarkan barang dengan dua harga,
maka baginya harga yang lebih rendah atau riba.". Hadits larangan Nabi
tentang dua jual beli dalam satu jual beli ini mereka tafsirkan sebagai
larangan menawarkan barang dengan dua harga, yang salah satunya kontan
dan yang lainnya dengan harga kredit dengan harga lebih tinggi.
Mari
perhatikan, jika kita telaah dari pendapat tersebut, maka akan kita
temukan bahwa mereka menjadikan kata "ba'a (menjual)" dalam hadits
diatas sebagai majaz (kiasan) dengan makna "aradha (menawarkan)".
Sementara makna menjual dengan menawarkan adalah sesuatu yang berbeda
dan qarinah (indikasi) mengalihkan makna hakiki dari kata ba'a (membeli)
kepada makna kiasan aradha (menawarkan) tidak kita temukan.
Oleh
karena itu, yang lebih tepat adalah memaknai kata ba'a dengan makna
harfiahnya yaitu membeli, dan bukan memaknainya dengan makna kiasan
aradha yaitu menawarkan.
Jadi, boleh-boleh saja
seseorang menawarkan barang dengan dua harga atau bahkan banyak harga,
tetapi dealnya (akad jual belinya) wajib disepakati satu harga saja.
Yang dilarang adalah dua jual beli dalam satu jual beli sebagaimana
dinyatakan dalam hadits yang lain sebagai berikut :
ﻧﻬﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺑﻴﻌﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺑﻴﻌﺔ
"Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu jual beli." (HR Nasa'i)
Larangan
dalam hadits diatas bukanlah larangan melakukan dua penawaran barang
dengan dua harga. Karena tidak ada qarinah (indikasi) yang mendukung
penakwilan yang seperti itu.
Manthuq (redaksi) hadits tersebut jelas menyatakan dua jual beli dalam satu jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi. Dua jual beli ini pada dasarnya adalah adalah dua akad dalam satu jual beli. Dengan kata lain, terjadi dua akad jual beli dalam satu akad jual beli.
Manthuq (redaksi) hadits tersebut jelas menyatakan dua jual beli dalam satu jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi. Dua jual beli ini pada dasarnya adalah adalah dua akad dalam satu jual beli. Dengan kata lain, terjadi dua akad jual beli dalam satu akad jual beli.
Penjelasan
ini cocok untuk kasus jual beli barang dengan dua harga tanpa
memastikan salah satunya. Jual beli semacam ini adalah dua akad jual
beli yang hukumnya haram karena tidak dipastikan salah satu harga jual
belinya. Namun jika dipastikan salah satu dari kedua harga (yang
ditawarkan) tersebut, dan dipastikan sebelum berpisah maka praktik
semacam ini sesungguhnya merupakan akad satu jual beli. Satu akad jual
beli jelas sekali berbeda dengan dua akad jual beli.
Syaikh
Annabhani menjelaskan dalam Syakhsiyah II bahwa yang dimaksud dua akad
dalam satu akad seperti seseorang yang mengatakan, "Saya jual rumah ini
kepada Anda segini, dengan catatan saya jual kepada Anda rumah yang
satunya dengan harga segini." Atau, "dengan catatan, Anda menjual rumah
Anda kepada saya." Model seperti ini tidak diperbolehkan, karena ucapan,
"Saya menjual rumahku kepada Anda" adalah satu transaksi, dan
perkataan, "dengan syarat saya juga menjual rumah yang satunya lagi
kepada Anda" adalah transaksi yang berbeda. Dan keduanya dikumpulkan
dalam satu transaksi.
Jadi larangan itu bukan ditujukan
pada penambahan harga karena ditundanya pembayaran atau melakukan
penawaran (ijabi) dengan dua sistem pembayaran dan menyatakan qabul pada
salah satunya.
Ibnul Qayyim dan lainnya menafsirkan,
sebagaimana yang belau jelaskan dalam kitab I’lamul Muwaqqiin dan
Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud, bahwa makna hadits larangan dua
jual beli dalam satu jual beli adalah larangan dari berjual beli dengan
cara ‘inah.
Jual beli ‘Inah adalah seseorang menjual
kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang atau harga
ditangguhkan. Kemudian setelah barang diserahkan, segera penjual membeli
kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dengan harga
yang lebih murah.
Contoh jual-beli 'inah adalah seperti
kisah yang diriwayatkan bahwa istri Zaid bin Arqam bertanya kepada
'Aisyah ra. tentang jual beli yang dia lakukan. Dia menjual budaknya
kepada Zaid seharga 800 dirham dibayar tidak tunai, lalu Zaid menjual
kembali budak itu kepada istrinya seharga 600 dirham tunai. Maka 'Aisyah
berkata,
"Ini suatu jual beli yang sangat buruk, beritahukan kepada Zaid bahwa jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terhapus pahalanya, kecuali ia bertaubat (dari jual beli ini). (HR Daruquthni)
Jadi
kesimpulannya, boleh-boleh saja seseorang menawarkan barang dengan dua
harga atau bahkan banyak harga, tetapi dealnya (akad jual belinya) wajib
disepakati satu harga saja. Wallahu a'lam.
Salam Berkah Berlimpah
Komunitas Developer Property Syariah (DPS)
COMMENTS