Hari Jumat ini ada kabar bahwa Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo gelisah karena Defisit Transaski Berjalan kita sudah mencapai USD 25 Milyar. Ekonomi kita dalam kondisi genting. Beberapa waktu yang lalu, mencermati pelemahan Rupiah terhadap USD, pak Perry menyebut riba sebagai salah satu sebabnya. Selumnya, dalam pesan viral, mantan Menneg BUMN Dahlan Iskan merasa kecopetan karena tabungan Rupiahnya menyusut hampir Rp.1M saat pelemahan Rupiah menghadapi USD.
Jika seorang mantan menteri telah merasa kecopetan sebanyak itu, kita bisa hitung berapa Triliun Rupiah kekayaan negeri ini dari sektor pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan dirampok melalui mekanisme keuangan global ribawi saat ini. Jumat tadi malam pada pleno Ijtima' Ulama di Jakarta, Prabowo Subijanto menegaskan kembali situasi pemiskinan bangsa ini.
Banyak masyarakat, bahkan para elite terutama para ekonom, tidak menyadari bahwa penyebab kemiskinan persisten di manapun adalah riba. *Riba adalah induk semua masalah manusia* sehingga ayat Al Qur'an yang terakhir bahkan memerintahkan agar riba yang tersisa tidak dipungut (juga tidak dibayar), dan barang siapa tidak mematuhi perintah ini berarti menyatakan perang pada Allah swt dan Rasul-Nya. Kita tahu sekarang, melihat kemiskinan berkepanjangan yang menimpa sebagian besar ummat manusia saat ini, bahwa kita kalah telak dalam peperangan melawan Allah dan Rasul-Nya ini.
Narasi global yang beredar menyesatkan saat ini adalah bahwa _failed state_ dan kemiskinan disebabkan terutama oleh sumber daya manusia yang malas, tidak kompetitif dan produktif, serta budaya korupsi. Soal budaya korupsi ini, saya ingat persis dialog saya dengan James Wharram di awal 2000an saat dia berkunjung ke ITS. James mengatakan : _Daniel, you Indonesian do the corruption in a very disorganized way. We western do it much better in a very organized, civilized way, via global financial system_. Melalui konstitusi IMF dan Brettonwods system-nya, _this system is basically a ripping off system that impoverises and enslaves peoples_. Jadi negara-negara yang dengan congkak menyebut dirinya maju itu menjadi "maju" dengan cara memiskinkan negara miskin, bukan karena masyarakat negara maju lebih hebat dan lebih bersih. Yang jelas negara tesebut disebut maju karena lebih boros dan lebih konsumtif walaupun ternyata tidak lebih bahagia.
Jadi masyarakat kita dimiskinkan oleh sistem keuangan ribawi ini. Riba itu tidak hanya merusak akhlaq pelaku dan korbannya, tapi juga merusak ekosistem alam. Merusak akhlaq karena kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran. Kemiskinan berkepanjangan itu membentuk mental miskin yang menjadi akar perilaku serakah, koruptif dan manipulatif.
Sejak Orde Baru, hutang kita (pemerintah dan swasta) tidak pernah berkurang, tapi malah makin bertambah mencapai hampir Rp. 9000Triliun saat ini. Ini telah mencapai lebih dari 70% GDP kita sekitar Rp. 12. 000 Triliun. Sekitar 30% APBN kita digunakan untuk membayar bunga dan cicilan pokok hutang kita.
Praktek riba diwujudkan secara terstruktur dan sistemik paling tidak dalam dua cara. Pertama mekanisme bisnis yang digerakkan melalui hutang dengan bunga. Ini sudah banyak diketahui masyarakat. Masyarakat disesatkan dengan istilah _bankability_ padahal _bankability_ sebagiam besar diukur dari kemampuan kreditur untuk menyediakan jaminan terutama justru bagi rakyat jelata. _Bankability is not all about trust_, tapi soal jaminan bahwa bank tidak pernah merugi; sebuah upaya pemastian bahwa yang selalu merugi adalah kreditur.
Bunga sekecilpun diharamkan karena menyalahi prinsip siapa menanam adalah yang memanen. Pemakan riba tidak pernah menanam oleh karena itu tidak berhak atas panen. Cicilan hutang masuk kedalam pembukuan sebagai beban atau biaya tetap. Kreditur kemudian jatuh dalam hutang dengan ilusi akan hidup terus selama masa cicilan. Padahal hutang yang tidak terbayar saat mati adalah hambatan memperoleh surga.
Praktik riba yang kedua dan lebih berbahaya adalah melalui uang kertas yang tidak dikaitkan dengan cadangan emas. Negara-negara adi kuasa dan kelompoknya dengan mudah melakukan pencetakan uang mereka _out of thin air_. Ini disebut _quantitative easing_. Ongkos mencetak uang USD100 kira-kira 10 sen USD. Sementara itu kita harus menukar USD100 kira-kira dengan 1 kwintal beras. Saat 1 ton tambang kita dikuras oleh sebuah perusahaan asing, kita dimiskinkan 2 kali. Pertama, kekayaan nyata kita berkurang. Kedua, kita dibayar dengan uang kertas atau uang elektronik yang nilainya digerogoti terus oleh inflasi.
Karena uang kertas sesungguhnya adalah surat hutang, maka sistem uang kertas ini telah menjerumuskan kita dalam kubangan hutang yang makin menggunung. Saat ini dunia dipenuhi oleh transaksi-transaksi berbagai jenis surat hutang dengan nama-nama yang canggih dan rumit. Volume perdagangan virtual ini justru telah melampaui perdagangan barang dan jasa. Segera harus diingat, transaksi yang halal adalah transaksi tunai yaitu dengan emas, perak atau kurma, atau garam. Dengan transaksi tunai ini ekonomi akan berjalan berkeadilan dan inflasi akan minimal bahkan hilang, serta ekosistem kita bisa kita pulihkan dari kerusakannya.
Sudah waktunya kita menyatakan perang terhadap riba, dengan menggantinya dengan sistem ekonomi _zakat_. Jika tidak, maka kita telah menyatakan _syirk_ secara terang-terangan dan dijamin kalah melawan Allah swt dan Rasul-Nya sendiri. Kita perlu membangun sistem ekonomi zakat ini dan segera keluar dari perjanjian-perjanjian internasional ribawi yang telah merampok kekayaan dan memiskinkan kita.
Menara Peninsula, Slipi, Jakarta 28/7/2018
COMMENTS